Senin, 25 September 2017

PDI-P: Pernyataan Prabowo Mengada-Ada...


Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Charles Honoris mempertanyakan pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menyebut bantuan pemerintah RI untuk kaum Rohingya adalah pencitraan.
"Statement Prabowo mengada-ada dan tidak berdasar. Pemerintahan Jokowi sedang melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk segera menghentikan siklus kekerasan di Rohingya," kata Charles kepada Kompas. com, Minggu (17/9/2017).
Charles menegaskan, Presiden Joko Widodo sudah mengirim Menlu Retno Marsudi untuk menemui baik petinggi sipil maupun militer di Myanmar. Di forum-forum internasional, pemerintah juga berupaya menggalang komunitas internasional untuk memberi tekanan kepada Myanmar agar kekerasan harus segera dihentikan. Bantuan kebutuhan pokok juga sudah dikirimkan.
"Lalu saya ingin kembali bertanya kepada Pak Prabowo apa yang harus dikerjakan pemerintah agar tidak disebut pencitraan?" kata Charles.
"Apakah harus mengirim pesawat tempur untuk mengebom Yangon? Apakah harus mengirimkan prajurit TNI ke Myanmar untuk melakukan invasi militer? Atau apa?" tambah dia.
Anggota Komisi I DPR ini menegaskan, Myanmar adalah negara berdaulat. Oleh karena itu, intervensi militer harus melalui mekanisme hukum internasional seperti resolusi Dewan Keamanan PBB.
Oleh karena itu, pemerintah tak bisa bergerak sembarangan. Pemerintah sedang berupaya maksimal melalui opsi-opsi yang tersedia untuk menghentikan siklus kekerasan di Myanmar.
"Saya berharap tidak ada pihak-pihak yang menggunakan cara-cara murahan seperti menunggangi isu Rohingya untuk mendegradasi kerja-kerja pemerintahan Jokowi-JK," ucap Charles.
Prabowo sebelumnya menganggap bantuan kemanusiaan yang diberikan Indonesia untuk warga etnis Rohingya di Rakhine State, Myanmar adalah bentuk pencitraan Presiden Joko Widodo.
"Kalaupun kita sekarang kirim bantuan menurut saya itu pencitraan. Kirim bantuan pun tak sampai kadang-kadang. Jadi saudara-saudara di sini saya harus kasih tahu supaya tidak emosional," kata Prabowo di Bundaran Patung Kuda, Jakarta, Sabtu (16/9/2017).
Padahal menurut Prabowo, langkah yang bisa dilakukan Pemerintah untuk membantu Rohingya adalah dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang disegani di dunia.
"Percaya sama saya, kalau kita kuat kaum Rohingya kita bantu, kita beresin. Kita harus kuat untuk bantu orang lemah, tidak bisa lemah bantu lemah, miskin bantu miskin," tambah dia.
Sumber : Kompas

Tak Rela Prabowo Tuding Jokowi Pencitraan Soal Rohingya


Politikus PDI Perjuangan Charles Honoris tak bisa menerima pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menuding pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) melakukan pencitraan dengan membantu etnis Rohingya yang kini di tempat-tempat pengungsian di Myanmar. Anggota Komisi I DPR yang membidangi urusan luar negeri itu bahkan menyampaikan pernyataan keras untuk mengkritik Prabowo.
"Statement Prabowo mengada-ada dan tidak berdasar. Pemerintahan Jokowi sedang melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk segera menghentikan siklus kekerasan di Rohingya," ujar Charles dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (17/9).
Lebih lanjut Charles mengatakan, Presiden Jokowi sudah mengirim Menteri Luar Negeri Retno P Marsudi untuk menemui tokoh-tokoh penting di Myanmar, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi. Selain itu, pemerintahan Presiden Jokowi juga berupaya menggalang komunitas internasional untuk memberi tekanan kepada Myanmar agar menghentikan kekerasan terhadap warga Rohingya.
"Lalu saya ingin kembali bertanya kepada Pak Prabowo apa yang harus dikerjakan pemerintah agar tidak disebut pencitraan? Apakah harus mengirim pesawat temput untuk mengebom Yangon (kota di Myanmar, red)? Apakah harus mengirimkan prajurit TNI ke Myanmar untuk melakukan invasi militer? Atau apa?" ujar Charles.
Menurut Charles, Myanmar merupakan negara berdaulat sehingga untuk melakukan intervensi militer harus melalui mekanisme hukum internasional seperti resolusi Dewan Keamanan PBB. Karena itu, katanya, pemerintah Indonesia berupaya maksimal melalui opsi-opsi yang tersedia untuk menghentikan siklus kekerasan di Myanmar.
Charles pun mengingatkan semua pihak tidak menunggangi isu Rohingya untuk komoditas politik. "Saya berharap tidak ada pihak-pihak yang menggunakan cara-cara murahan seperti menunggangi isu Rohingya untuk mendegradasi kerja-kerja pemerintahan Jokowi-JK," pungkas anak buah Megawati Soekarnoputri di PDIP itu.
Sebelumnya Prabowo saat ikut Aksi Bela Rohingnya di kawasan Silang Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (26/9) menganggap bantuan kemanusiaan untuk etnis minoritas muslim di Myanmar itu hanyalah bentuk pencitraan. Prabowo beralasan, pemerintah Indonesia semestinya bisa disegani sehingga bisa melakukan upaya maksimal dalam membantu warga Rohingya yang terusir dari Myanmar.
Sumber : JPNN

Jumat, 25 Agustus 2017

Politikus PDIP Minta Polri Bongkar Jaringan Lain Setelah Saracen


Anggota Komisi I DPR Charles Honoris meminta kepolisian membongkar jaringan penyebar isu SARA lainnya yang serupa dengan grup Saracen. Dia mengatakan masih ada puluhan ribu situs hoax yang digunakan untuk penyerangan terkait pemilu.

"Saya mendapatkan informasi bahwa ada jutaan akun dan puluhan ribu situs hoax yang sudah disiapkan untuk menghadapi perhelatan politik di tahun 2018 dan 2019," ujar Charles dalam keterangan tertulis, Jumat (25/8/2017).

Charles menuturkan hal tersebut dapat mengancam persatuan bangsa karena bisa memecah belah suara rakyat.

"Tentunya hal ini dapat mencederai iklim demokrasi yang sehat menjelang pilkada dan pemilu, dan lebih lagi mengancam persatuan bangsa," kata Charles.
Politikus PDIP itu meminta Polri bisa mengungkap dan menangkap jaringan-jaringan lainnya. Sebab, menurut Charles, penyebaran hoax dan ujaran kebencian adalah pelanggaran pidana yang mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Oleh karena itu, saya berharap Polri terus melanjutkan pengungkapan dan penangkapan jaringan-jaringan lain yang menyebarkan ujaran kebencian dan hoax di media sosial," ucapnya.

Menurut Charles, ujaran kebencian dapat memicu konflik horizontal. Juga memperbanyak masyarakat melakukan radikalisme, bahkan aksi terorisme.

"Oleh karena itu, ujaran kebencian harus kita lawan bersama. Ditunggu pengungkapan dan penangkapan selanjutnya," tutur Charles.
Sebelumnya, polisi menangkap tiga pelaku berinisial JAS, MFT, dan SRN. Mereka dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 22 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan/atau Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman 4 tahun penjara.

Kepolisian menyebut kelompok Saracen sering menawarkan jasa untuk menyebarkan ujaran kebencian bernuansa SARA di media sosial. Setiap proposal mempunyai nilai hingga puluhan juta rupiah.
Sumber: Detik

Minggu, 04 Juni 2017

DPR: TNI Dilatih untuk Perang, Bukan Menangkap Teroris

Charles Honoris
Presiden Joko Widodo telah meminta Revisi Undang-Undang Terorisme segera dirampungkan. Bahkan, secara khusus Jokowi meminta ada peran TNI di dalam RUU Terorisme.
Meski begitu, politisi PDI Perjuangan Charles Honoris mengatakan bila sampai saat ini belum ada perubahan dalam draft RUU Terorisme yang saat ini tengah ditangani Pansus DPR.
Pasalnya, menurut dia, banyak yang salah mengartikan pernyataan Jokowi tersebut.
“Sampai saat ini belum ada (perubahan) penambahan kewenangan TNI dalam RUU Terorisme. Namun, tentunya TNI sudah bisa dilibatkan berdasarkan keputusan politik negara,” ujar Charles seusai menjadi narasumber di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Rabu (31/5/2017).
Keputusan politik negara yang dimaksud, kata dia, seperti yang tertuang dalam UU TNI Pasal 7 ayat 2 No 34 tahun 2004 tentang keterlibatan militer dalam memberantas terorisme.
Terkait aksi teror yang terjadi di tanah air seperti yang terjadi di Kampung Melayu pada pekan lalu itu, anggota Komisi I DPR ini yakin bila kepolisian adalah pihak yang paling kompeten untuk menangani kasus semacam itu.
“Saya bukan anti TNI tapi saya mau mendudukkan pada porsinya. TNI dilatih untuk perang dan ketahanan negara. Sementara penegakan hukum dilakukan oleh polisi melalui Densus 88,” kata dia.
Namun, apabila kelompok teroris yang ada telah bertransformasi menjadi kelompok teroris yang menguasai sebuah wilayah maka TNI bisa dilibatkan. Tentunya berdasarkan keputusan politik negara.
“Tapi apabila masih dalam lingkup aksi terorisme, saya rasa pihak penegak hukum bisa menanganinya, kecuali lebih meluas daripada itu,” ujar Charles menyudahi.
Sumber : Kriminalitas

Senin, 15 Mei 2017

Politikus PDIP: Vonis Penjara Ahok Karena Tekanan


Sejak awal, kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dinilai telah menjadi dagangan politik dan bukan murni perkara hukum.
Akibatnya, vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Ahok bukan berdasarkan fakta hukum. Melainkan karena intervensi dan tekanan terhadap majelis hakim.
“Putusan hakim dalam kasus Ahok mengecewakan, hakim memutuskan bukan atas dasar fakta hukum tapi karena intervensi dan tekanan,” kata Politikus PDI Perjuangan sekaligus mantan Bendahara tim pemenangan Ahok-Djarot, Charles Honoris kepada wartawan, Selasa (9/5).
Kasus penodaan agama, menurut Charles, bermula karena keikutsertaan Ahok pada kompetisi Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017.
Charles menyoroti banyaknya upaya intervensi dan tekanan dari berbagai pihak selama masa persidangan Ahok, seperti aksi massa, beragam komentar elit partai politik, hingga pimpinan dewan.
Hal tersebut, kata Charles, menjadi bagian dari upaya mengintervensi putusan dan juga mendegradasi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Dan terbukti hakim lebih takut dengan tekanan dan intervensi ketimbang menerapkan keadilan,” kata Charles.
Sementara itu, anggota DPR Fraksi Golkar Ace Hasan As-Syadzily enggan berkomentar mengenai putusan hakim terhadap Ahok.
“Soal keputusan hukumnya melebihi dari tuntunan Jaksa biarlah Pak Ahok dan Tim Hukumnya mengambil langkah hukum selanjutnya. Kami hormati proses hukum tersebut,” kata Ace.
Majelis hakim yang diketuai Dwiarso Santiarso memvonis Ahok dengan hukuman dua tahun penjara dan memerintahkan penahanan Ahok. Hakim menilai Ahok terbukti bersalah melanggar Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.
Sumber : CNN

Rabu, 08 Maret 2017

Pemprov DKI Restui Dana Sisa Kampanye untuk Beli Mobil Transjakarta Cares


Charles Honoris Timses Ahok-Djarot

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, restui jika dana hasil sisa kampanye para pasangan calon (paslon) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017, digunakan untuk kebutuhan masyarakat. Salah satunya mobil Transjakarta Cares.

Meskipun, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Sumarsono menegaskan bahwa dana tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI.

"Kalau ada sisa dana kampanye itu dilaporkan ke KPUD. Proses kemudian setelah dilaporkan KPU atau diberikan bantuan sah-sah saja kemanapun juga. Termasuk untuk bantu orang miskin atau beli mobil Transjakarta," kata Sumarsono, di Balai Kota, Jalan Merdeka Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (8/3/2017).

Lihat gallery : Sosialisasi Nilai-nilai Kebangsaan Bersama Charles Honoris di Kelurahan Krendang

Namun, lanjutnya, jika dana telah diberikan maka akan disebut sebagai dana netral.

Tidak diperbolehkan nantinya disebut sebagai dana bantuan dari tim sukses.

"Kalau ada bantuan dikembalikan dan masuk kas negara melalui KPU dan di re-invest. Bukan hanya Transjakarta, siapapun nggak masalah. Kan yang penting indikasi bukan kampanye tapi hibah.

Subtansi ya. Mekanismenya saya pikir nggak seperti itu. Laporkan ke KPU, dan uang dikembalikan ke KPU, setahu saya itu," katanya.

Sebelumnya, Bendahara Tim Pemenangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Charles Honoris, mengatakan bahwa sisa dan kampanye nanti akan dialihkan untuk kegiatan sosial atau membeli mobil TransJakarta Cares.

"Ahok pesen sisa dana kampanye nanti untuk digunakan beli TransJakarta Cares atau sumbangan sosial," kata Charles, di Jalan Cemara Nomor 19, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/3/2017).

Transjakarta Cares adalah mobil minibus untuk melayani penyandang disabilitas dan lansia.

Warga cukup menghubungi lewat telepon atau pesan singkat ke Transjakarta Cares.

Nantinya, petugas menjemput warga tersebut menggunakan mobil Transjakarta Cares di kediamannya masing-masing.

Kemudian warga diantar ke halte TransJakarta terdekat kemudian beralih ke bus Transjakarta.

Sementara, Total dana yang terkumpul pada putaran pertama sebesar Rp 60,1 miliar.

Baca juga: AS Punya Presiden Baru, Indonesia Harus Jajaki Kerja Sama Yang Menguntungkan

Terpakai Rp 53,6 miliar. Sisanya Rp 6,5 miliar, namun tidak dapat sepenuhnya bisa digunakan untuk putaran kedua karena belum dilengkapi Surat Pernyataan Penyumpang KPUD.

Sehingga dari Rp 6,5 miliar tersebut sebanyak Rp 1,7 kami kembalikan ke kas negara dan Rp 4,8 miliar untuk putaran kedua.

"Namun, hal tersebut belum diputuskan. Nanti jika kampanye selesai, baru akan kami putuskan akan dipergunakan untuk apa sisa dana kampanye Ahok-Djarot," kata Charles.

Sumber : Wartakota

Rabu, 15 Februari 2017

Usul Tentang Presiden Orang Indonesia Asli, Mustahil Diterima


Politikus PDI Perjuangan Charles Honoris menilai usul PPP mengamandemen UUD 1945 terutama frasa "Presiden ialah orang Indonesia asli" tidak mungkin diterima Majelis Permusyawaratan Rakyat.
"Fraksi-fraksi nasionalis seperti PDI Perjuangan dan Golkar pasti akan menolak usulan tersebut,” kata Charles melalui pesan singkat, Jumat (7/10).
Charles menilai sangat sulit mendefinisikan siapa orang Indonesia asli karena beragam suku telah ada di Nusantara sejak ratusan tahun lalu.
Proses asimilasi dan akulturasi membuat sulit untuk mendefinisikan asli, kata dia.  Sebaliknya, dia menilai semua warga negara Indonesia adalah orang Indonesia asli.
Bila PPP memaksakan pandangannya, ia melihat partai itu berpotensi dicap rasis sehingga ditinggalkan pemilihnya.
"Kalau rumusan yang diusulkan PPP disetujui, maka mungkin yang bisa menjadi presiden RI hanya Pithecanthropus erectus," kata Charles berseloroh.
Musyawarah Kerja Nasional I PPP pada Rabu (5/10) merekomendasikan amendemen UUD 1945 dengan mengubah klausul pada Pasal 6 ayat (1) tentang syarat calon presiden di mana PPP mengusulkan penambahan kata "asli" dalam pasal itu sehingga berbunyi "Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara warga negara Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden".